Sabtu, 16 Januari 2021

TINDAK PELAKU PENCUCIAN UANG (MONEY LAUNDERING) OLEH PELAKU BISNIS


1.      PENGERTIAN PENCUCIAN UANG

Apabila seseorang memperoleh sebuah keuntungan materiil berupa uang yang dihasilkan dari sebuah perbuatan kriminal atau tindakan lain yang tidak legal, seperti mendapatkan uang dari hasil gratifikasi, uang dari hasil korupsi, uang dari hasil penjualan narkotika dan obat-obatan terlarang, uang dari hasil penyeleundupan barang antar negara dan lain sebagainya yang tentunya hasil dari setiap tindak kejahatan tersebut bernilai sangat besar. Dengan besarnya uang hasil kejahatan itu, apabila uang tersebut langsung digunakan secara nyata pasti hal ini akan menimbulkan kecurigaan karena akan menimbulkan ketidakwajaran dalam penggunaannya atau pembelanjaannya. Oleh karena itu, agar uang dari hasil kejahatan itu bisa tersamarkan dan tidak diketahui asal-usulnya, para pelaku kejahatan ini tentu akan melakukan “pembersihan” uang ini dengan “mencucinya” dengan menggunakan uang tersebut untuk aktivitas bisnis yang “halal”, sehingga keluaran dari usaha yang halal ini menyebabkan seolah-olah uang hasil kejahatan tadi menjadi uang halal. Agaknya deskripsi paragraf di atas cukup menggambarkan bagaimana konstruksi sebuah konsep yang disebut sebagai perbuatan PENCUCIAN UANG/MONEY LAUNDERING.

Dari uraian itu dapat diketahui bahwa Pencucian Uang merupakan sebuah tindakan seseorang dalam upaya menyamarkan dan/atau menyembunyikan asal-usul uang yang diperolehnya dari hasil kejahatan dengan cara memasukan uang tersebut ke dalam sebuah sistem bisnis yang sah.

Menurut Undang-undang R.I Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (UU-TPPU), dalam Pasal 1 angka 1 disebutkan bahwa Pencucian Uang adalah segala perbuatan yang memenuhi unsur-unsur tindak pidana sesuai dengan ketentuan dalam Undang-undang ini. Selanjutnya dalam Bab II, Pasal 3, 4 dan 5 UU-TPPU disebutkan “Setiap Orang yang menempatkan, mentransfer, mengalihkan, membelanjakan, membayarkan, menghibahkan, menitipkan, membawa ke luar negeri, mengubah bentuk, menukarkan dengan mata uang atau surat berharga atau perbuatan lain atas Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana dengan tujuan menyembunyikan atau menyamarkan asal usul Harta Kekayaan dipidana karena tindak pidana Pencucian Uang.

Pasal 4 ” Setiap Orang yang menyembunyikan atau menyamarkan asal usul, sumber, lokasi, peruntukan, pengalihan hak-hak, atau kepemilikan yang sebenarnya atas Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana dipidana karena tindak pidana Pencucian Uang”. Pasal 5 “Setiap Orang yang menerima atau menguasai penempatan, pentransferan, pembayaran, hibah, sumbangan, penitipan, penukaran, atau menggunakan Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana”. TPPU dapat dikelompokkan dalam 2 klasifikasi, yaitu TPPU aktif dan TPPU pasif, yaitu : 1. TPPU aktif sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 3 dan 4 UU TPPU, lebih menekankan pada pengenaan sanksi pidana bagi: a. Pelaku pencucian uang sekaligus pelaku tindak pidana asal b. Pelaku pencucian uang, yang mengetahui atau patut menduga bahwa harta kekayaan berasal dari hasil tindak pidana 2. TPPU pasif sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 5 UU TPPU lebih menekankan pada pengenaan sanksi pidana bagi : a. Pelaku yang menikmati manfaat dari hasil kejahatan.

2.      Tindak Pidana Pencucian Uang  Yang dilakukan pebisnis dalam melancarkan usahanya

Tindak Pidana Pencucian Uang dalam Perspektif Kegiatan Bisnis 1. Faktor Pendorong TPPU Seperti telah diuraikan di awal bahwa TPPU merupakan sebuah tindakan guna menyamarkan dan/atau mngaburkan asal-usul uang dari hasil tindak kejahatan menjadi seolah-olah uang halal dengna dimasukannya uang tersebut ke dalam sistem bisnis halal. Dari sekian banyak modus yang dilakukan dalam TPPU ini, terdapat beberapa faktor yang justru membuat TPPU ini menjadi sebuah pilihan yang aman bagi para pelaku kejahatan guna menghalalkan uangnya, yaitu menurut (Zanuar Achmad Afandi, 2013 : 6)

 a.       Kemajuan teknologi; Yang paling mendorong kegiatan money laundering adalah teknologi di bidang informasi, yaitu dengan munculnya internet dan yang memperlihatkan kemajuan yang luar biasa. Dengan kemajuan teknologi informasi tersebut atas batas negara menjadi tidak berarti lagi, dan dunia menjadi satu kesatuan yang tanpa batas. Akibatnya kejahatan-kejahatan terorganisir (organized crime) yang diselenggarakan organisasiorganisasi kejahatan menjadi mudah dilakukan melewati lintas batas negara. Pada saat ini organisasi-organisasi kejahatan dapat secara mudah dan cepat memindahkan jumlah uang yang sangat besar dari satu yuridiksi ke yuridiksi lainnya. Misalnya dengan Automatic Teller Machines (ATMs) memungkinkan para penjahat untuk memindahkan dana ke rekening-rekening di Amerika Serikat dari negara-negara lain dan hampir seketika tanpa diketahui siapa pelakunya dapat menarik dana tersebut dari ATMs di seluruh dunia.

b.      Ketentuan rahasia bank yang sangat ketat; Berkaitan dengan reformasi di bidang perpajakan (tax reform), negara-negara Uni Eropa, Inggris melakukan pertemuan Menteri-Menteri Keuangan. Dalam pertemuan tersebut menghimbau untuk menghapuskan ketentuan rahasia bank yang ketat tersebut. Menurut delegasi dari Inggris, apabila Uni Eropa ingin serius dalam memerangi tax evation, maka harus mempertimbangkan penghapusan ketentuan tentang rahasia bank;

c.       Kemungkinan menyimpan menggunakan nama samaran atau tanpa nama; Sebagai contoh adalah di Austria sebagai salah satu negara yang banyak dijadikan pangkalan untuk kegiatan money laundering dari para koruptor dan organisasiorganisasi yang bergerak di bidang perdagangan narkoba, membolehkan sesorang atau suatu organisasi membuka rekening menggunakan nama samaran;

d.      Munculnya electronic money atau E-money; Money laundering yang dilakukan dengan menggunakan jaringan internet, yang disebut dengan istilah cyber laundering. Produk E-money yang telah dikembangkan terutama untuk digunakan melalui jaringan komputer terbuka (open computer network) dari pada melakukan face to face (pembelian yang dilakukan dengan langsung hadirnya penjual dan pembeli di tempat jual beli). Sistem demikian menyediakan barang-barang dan jasa-jasa melalui internet, yang kemudian dimanfaatkan oleh pencuci uang melalui cyberlaundering. Apabila E-commerce yang dilakukan melalui jaringan meningkat, para pengamat memperkirakan peningkatannya mendorong pertumbuhan E-money. E-moneyadalah nama generik yang diberikan kepada konsep uang yang secara digital ditandatangani oleh sebuah lembaga penerbit melalui kunci enkripsi (rahasia) pribadi dan ditransmisikan kepada seseorang. Uang tersebut kemudian dapat dinegosiasikan secara elektronik dengan pihak-pihak lain sebagai pembayaran barang-barang atau jasa-jasa dimanapun di dunia.

e.       Dimungkinkannya praktik pelapisan layering; Pelapisan dapat menjadi faktor pendorong maraknya kegiatan money laundering, karena dengan melakukan pelapisan menjadikan pihak yang menyimpan dana di bank (nasabah atau deposan bank) bukanlah pemilik yang sesungguhnya dari dana tersebut. Deposan tersebut hanyalah sekedar bertindak sebagai kuasa atau pelaksana amanah dari pihak lain yang menugasinya untuk mendepositokan uangnya di sebuah bank. Seringkali terjadi bahwa pihak yang menugaskan tersebut bukanlah pemilik asli dari dana tersebut , karena mendapat amanah untuk mendepositokan uang oleh pihak lain yang menerima kuasa atau amanah dari pemilik yang sebenarnya. Dengan kata lain, penyimpan dana tersebut juga tidak mengetahui siapa pemilik yang sesungguhnya dari dana tersebut, karena ia hanya mendapat amanah dari kuasa pemilik. Bahkan sering terjadi bahwa orang yang memberi amanat kepada penyimpan dana yang memanfaatkan uang itu di bank ternyata adalah lapis yang kesekian kali sebelum sampai kepada pemilik yang sesungguhnya. Dengan kata lain, terjadi estafet yang berlapis-lapis. Dengan kegiatan layering, menyebabkan kesulitan pendeteksian oleh aparat penegak hukum.

f.       Kerahasiaan hubungan antara lawyer dan klien; Dana simpanan di bank-bank sering diatasnamakan kantor pengacara, sementara hubungan antara klien dan lawyer dilindungi oleh undang-undang. Karena itu, lawyer yang menyimpan dana di bank atas nama kliennya tidak dapat dipaksa oleh otoritas yang berwenang untuk mengungkapkan identitas kliennya.

g.      Ketidak-sungguhan negara dalam pemberantasan money laundering; Hal tersebut dikarenakan negara yang bersangkutan memang sengaja membiarkan praktik money laundering berlangsung, karena negara tersebut mendapat keuntungan dengan dilakukannya penempatan dana haram tersebut di lembaga keuangan yang ada di negara itu. Keuntungan dari dana yang terkumpul di lembaga perbankan sangat diperlukan untuk membiayai pembangunan atau dengan dana tersebut memungkinkan perbankan memperoleh banyak keuntungan dari penyaluran dana tersebut yang lebih lanjut akan memberi kontribusi berupa pajak yang besar bagi negara.

h.      Tidak ada kriminalisasi pencucian uang; Di beberapa negara yang belum ada peratutan money laundering dalam sistem hukum pidananya, membuat parktik money laundering menjadi subur. Belum diaturnya peraturan yang menyangkut pemberantasan tindak pidana pencucian uang di negara tersebut, biasanya juga karena ada keengganan dari negara tersebut secara bersungguh-sungguh memberantas money laundering. Seperti diketahui bahwa Indonesia baru pada tahun 2002 mengundangkan peraturan tindak pidana pencucian uang, sehingga tidak mengherankan apabila sebelumnya Indonesia dianggap sebagai salah satu surga bagi pencuci uang.

 

3.      Modus Pencucian Uang

 

Modus TPPU Dari berbagai faktor yang menyebabkan maraknya terjadi TPPU, memunculkan pula berbagai pola atau modus/tipologi TPPU, mulai dari menyimpan uang di bank, membeli properti, melakukan transfer antar antar negara, premi asuransi, pemasukan modal perusahaan (imbreng). Dari berbagai tipologi TPPU tersebut secara umum dan sudah menjadi kelaziman, tipologi TPPU dapat dikelompokkan menjadi 3 (tiga) bentuk, yaitu: Penempatan (placement), Pemisahan/pelapisan (Layering), dan Penggabungan (Integrtion). Billy Steel menggambarkan ketiga tipologi tersebut sebagai berikut : (Bily Steel : 2015)

1.   Penempatan (Placement) Adalah upaya menempatkan dana yang dihasilkan dari suatu kegiatan tindak pidana ke dalam sistem keuangan. Beberapa modus penempatan diantaranya :

1)    Menempatkan Uang dalam Sistem Perbankan.

Cara ini ditempuh dengan melakukan uang hasil kejahatan pada rekening bank, dan tidak jarang para pelaku kejahatan melakukan permohonan kredit atau pembiayaan, kemudian menyetorkan uang kepada lembaga keuangan. Dengan tipologi ini, pihak perbankan dan/atau lembaga keuangan wajib memiliki ketelitian dalam mengenali siapa yang akan menjadi nasabahnya dengan memperhatikan track record. Berkaitan dengan ini, sesuai dengan rekomendasai dari Financial Action Task Force (FATF), yang dikenal dengan Rekomendasi 40 + 9 FATF yang dikeluarkan pad februari 2012, dunia perbankan Indonesia sudah mengadopsi hal tersebut dengan dikeluarkannya Peraturan Bank Indonesia Nomor 12/20/PBI/2010 tentang Penerapan Program Anti Pencucian Uang dan Pencegahan Pendanaan Terorisme bagi Bank Perkreditan Rakyat dan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah.

Berdsarkan PBI APU-PPT tersebut, ketentuan tentang KYC (Know Your Customer) lebih disempurnakan dengan memberikan konsep baruyang dikenal dengan CDD (Customer Due Diligent). Hal ini dilakukan didasarkan atas perkembangan dunia perbankan yang justru perkembangan tersebut tidak saja berdampak baik kepada kualitas pelayanan jasa keuangan, akan tetapi dalam beberapa hal dapat dimanfaatkan sebagai sarana TPPU dan pembiayaan tindak pidana terorisme.Dalam PBI APU-PPT tersebut juga diberikan kategori beberapa orang yang perlu mendapat perhatoan khusus ketika bank akan melakukan hubungan dengan yang bersangkutan. Dalam Pasal 1 angka 12 disebutkan Walk in Customer yang selanjutnya disebut sebagai WIC adalah pengguna jasa BPR/BPRS yang tidak memiliki rekening pada BPR/BPRS tersebut, tidak termasuk pihak yang mendapatkan perintah atau penugasan dari Nasabah untuk melakukan transaksi atas kepentingan Nasabah tersebut.

Selanjutnya, angka 13, disebutkan Beneficial Owner adalah setiap orang yang memiliki dana, yang mengendalikan transaksi nasabah atau WIC, yang memberikan kuasa atas terjadinya suatu transaksi dan/atau yang melakukan pengendalian melalui badan hukum atau perjanjian. Pasal 1 angka 14, menyebutkan Politically Exposed Person yang selanjutnya disebut sebagai PEP adalah orang yang mendapatkan kepercayaan untuk memiliki kewenangan publik diantaranya adalah Penyelenggara Negara sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai Penyelenggara Negara, dan/atau orang yang tercatat sebagai anggota partai politik yang memiliki pengaruh terhadap kebijakan dan operasional partai politik.

Adapun yang dimaksud CDD dalam PBI APU-PPT ini sebagai perbaikan nomenklatur dari KYC yang lebih dulu ada dalam praktirk perbankan, adalah bahwa Customer Due Dilligence yang selanjutnya disebut sebagai CDD adalah kegiatan berupa identifikasi, verifikasi, dan pemantauan yang dilakukan BPR dan BPRS untuk memastikan bahwa transaksi dilakukan sesuai dengan profil pengguna jasa bank. Tindak lanjut dari CDD adalah EDD, dimana Enhanced Due Dilligence yang selanjutnya disebut sebagai EDD adalah CDD dan kegiatan lain yang dilakukan oleh BPR dan BPRS untuk mendalami profil calon Nasabah, Nasabah atau Beneficial Owner yang tergolong berisiko tinggi termasuk PEP terhadap kemungkinan pencucian uang dan pendanaan terorisme. Dengan adanya APU dan PPT pada perbankan ini, di setiap bank wajib ada unit dan/atau orang khusus yang menangani tentang APU dan PPT ini yang salah satu tugas khususnya adalah melakukan CDD dan EDD dan juga yang paling penting menerima laporan transaksi keuangan yang berpotensi mencurigakan dari unit kerja atau pegawai terkait yang berhubungan dengan Nasabah dan melakukan analisis atas laporan tersebut, dan selanjutnya ditindaklanjuti untuk dilaporkan kepada PPATK. Dengan adanya CDD, EDD dan pengawasan transaksi yang berlapis dan ketat ini, diharapkan hal ini meminimalisasi risiko bank dijadikan media TPPU dan pembiayaan tindak pidana terorisme.

2)    Menyelundupkan Uang atau Harta Hasil Tindak Pidana ke Negara Lain

Pelaku kejahatan dapat juga melakukan penempatan dengan melakukan pembawaan tunai melewati negara. Penerima suap tersebut, misalnya bisa membawa harta hasil suapnya ke negara lain, kemudian ditukarkan dengan mata uang yang berbeda. Pembawaan tunai ini dapat dilakukan dengan memperlakukannya sebagai barang-barang ekspedisi atau dengan terlebih dahulu dikonversi ke dalam bentuk barang berharga seperti emas atau perhiasan. Sehingga pembawaan hasil kejahatan ke negara lain tersebut bisa dilakukan banyak cara, baik itu melalui ekspedisi, maupun dibawa secara sendiri dengan kendaraan pribadi. Karakteristik lainnya adalah dengan membawa harta hasil tindak pidana tersebut ke negara-negara yang tidak memiliki pengaturan mata uang yang ketat.

Terkait dengan membawa uang ke luar negeri atau ke luar daerah pabean Indoenesia, hal tersebut telah diatur dalam UU TPPU 2010 Pasal 34 dan Peraturan Bank Indonesia Nomor 4/8/PBI/2002 Tentang Persyaratan dan Tata Cara Membawa Uang Rupiah Keluar atau Masuk Wilayah Pabean Republik Indonesia. Dalam PBI tersebut diatur bahwa Membawa Uang Rupiah keluar atau masuk wilayah pabean Republik Indonesia adalah mengeluarkan atau memasukkan Uang Rupiah yang dilakukan dengan cara membawa sendiri atau melalui pihak lain, dengan atau tanpa menggunakan sarana pengangkut. Kemudian, mekanisme membawa uang tersebut diatur lebih lanjut ketika Setiap orang yang membawa Uang Rupiah sebesar Rp.100.000.000,00 (seratus juta Rupiah) atau lebih keluar wilayah pabean Republik Indonesia, wajib terlebih dahulu memperoleh izin dari Bank Indonesia (Pasal 2). Selanjutnya, Setiap orang yang membawa Uang Rupiah sebesar Rp.100.000.000,00 (seratus juta Rupiah) atau lebih masuk wilayah pabean Republik Indonesia, wajib terlebih dahulu memeriksakan keaslian uang tersebut kepada petugas Bea dan Cukai di tempat kedatangan (Pasal 3). Sementara itu yang dimkasud izin dari BI hanya dapat diberikan untuk:

1)    Uji coba mesin uang;

2)    Kegiatan pameran di luar negeri;

3)    Hal-hal lain yang menurut pertimbangan Bank Indonesia perlu diberikan izin atas dasar kepentingan umum.

Dalam kaitannya dalam upaya pencegahan dan pemberantasan TPPU, Ditjen Bea dan Cukai memiliki kewajiban:

1)      Membuat laporan mengenai pembawaan uang tunai dan/atau instrumen pembayaran lain

2)      Menyampaikan laporan mengenai pembawaan uang tunai dan/atau instrumen pembayaran lain tersebut kepada PPATK paling lama 5 (lima) hari kerja sejak diterimanya pemberitahuan.

3)      Melakukan Konversi Harta Hasil Tindak Pidana; Yang dimaksud dengan konversi harta hasil tindak pidana adalah mengubah bentuk harta hasi tindak kejahatan ke dalam bentuk lain. Konversi ini dapat dilakukan dengan pembelian aset/barang-barang mewah, yaitu menyembunyikan status kepemilikan dari aset/ barang mewah termasuk pengalihan aset tanpa terdeteksi oleh sistem keuangan. Dan, pertukaran barang, yaitu menghindari penggunaan dana tunai atau instrumen keuangan sehingga tidak dapat terdeteksi oleh system keuangan. Kegiatan konversi ini dapt juga dilakukan dengan penggunaan identitas palsu, yaitu transaksi yang dilakukan dengan menggunakan identitas palsu sebagai upaya untuk mempersulit terlacaknya identitas dan pendeteksian keberadaan pelaku pencucian uang.

4)      Melakukan Penempatan Secara Elektronik Penempatan juga seringkali dilakukan dengan cara transfer secara elektronik. Dengan kemudahan teknologi informasi, melakukan transfer atau pemindahan uang dari satu rekening ke rekening lain, baik di dalam negeri bahkan ke luar negeri dapat dilakukan dengan incstan dan super cepat. Hanya dengan menggunakan layana e-banking atau melalui ATM dan/atau mobile banking seseorang sudah dapat dengan mudah mentransferkan dananya yang dimilikinya ke beberapa rekening.

5)      Memecah-Mecah Transaksi dalam Jumlah yang Lebih Kecil (structuring); Tipologi TPPU lain yang sering kali dilakukan dan patut diduga sebagai transaksi mencutigakan adalah dengan upaya untuk menghindari pelaporan dengan memecah-mecah transaksi sehingga jumlah transaksi menjadi lebih kecil akan tetapi dengan frekuensi yang cukup tinggi.

6)      Menggunakan Beberapa Pihak Lain dalam Melakukan Transaksi (Smurfing). Metode lain yang digunakan para pencuci uang adalah dengan melakukan transaksi dengan menggunakan beberapa rekening atas nama individu yang berbeda-beda untuk kepentingan satu orang tertentu

2.   Pemisahan/Pelapisan (Layering) Pemisahan/pelapisan (layering) adalah memisahkan hasil tindak pidana dari sumbernya, yaitu tindak pidananya melalui beberapa tahap transaksi keuangan untuk menyembunyikan atau menyamarkan asal-usul dana. Dalam kegiatan ini terdapat proses pemindahan dana dari beberapa rekening atau lokasi tertentu sebagai hasil placement ke tempat lain melalui serangkaian transaksi yang kompleks dan didesain untuk menyamarkan dan menghilangkan jejak sumber dana tersebut. Beberapa modus layering tersebut di antaranya : (PPATK, 2015 : 6)

1)   Transfer Dana secara Elektronik Setelah ditempatkan dalam sistem perbankan, pelaku tindak pidana dapat mudah melakukan transfer terhadap asetnya tersebut ke mana punyang ia kehendaki. Apabila transfer tersebut dilakukan secara elektronik, ia dapat memindahkan asetnya dengan segera, lintas batas negara, dan berkali-kali, melewati berbagai rekening yang ia kendalikan, rekanannya, atau bahkan rekening dengan identitas palsu hingga sulit ditelusuri lagi asal usulnya.

2)   Transfer melalui Kegiatan Perbankan Lepas Pantai (offshore banking) Offshore banking menyediakan layanan pembukaan rekening koran untuk penduduk luar negeri. Dengan menempatkan dana pada suatu bank, yang selanjutnya ditransfer ke rekening Offshore Banking, pelaku tindak pidana dapat seolah-olah menjauhkan harta hasil tindak pidananya dengan dirinya. Offshore Banking cenderung memiliki jaringan bank yang luas sehingga memberikan kemudahan bagi pelaku tindak pidana untuk melakukan proses pencucian uang.

3)   Transaksi Menggunakan Perusahaan Boneka (Shell Corporation) Perusahaan boneka (shell company) adalah perusahaan yang didirikan secara formal berdasarkan aturan hukum yang berlaku, namun tidak digunakan untuk melakukan kegiatan usaha. Perusahaan boneka didirikan hanya untuk melakukan transaksi fiktif atau menyimpan aset pendirinya atau orang lain untuk menyamarkan kepemilikan sebenarnya terhadap aset tersebut. Modus yang digunakan dengan perusahaan boneka misalnya diawali dengan pendirian perusahaan virtual di luar negeri. Perusahaan virtual ini kemudian membuat rekening koran di beberapa bank. Pelaku tindak pidana dapat meminta beberapa orang rekanannya untuk menjadi smurf untuk mentransfer uang hasil tindak pidana ke dalam rekening bank perusahaan virtual, sehingga seolah-olah merupakan transaksi pembelian saham.

3.   Penggabungan (Integration) Penggabungan (integration) adalah upaya menggabungkan atau menggunakan harta kekayaan yang telah tampak sah, baik untuk dinikmati langsung, diinvestasikan ke dalam berbagai jenis produk keuangan dan bentuk material lainnya, dipergunakan untuk membiayai kegiatan bisnis yang sah, ataupun untuk membiayai kembali kegiatan tindak pidana.

Pada tahap ini uang yang telah dicuci dimasukkan kembali ke dalam sirkulasi dengan bentuk yang sejalan dengan aturan hukum. Proses integration ini terjadi apabila proses layering berhasil dengan baik.(Yunus Husein, 2006 : 2) Modus integration dalam pencucian uang dapat dilakukan dengan beberapa cara, di antaranya:

1)   Melakukan Investasi pada Suatu Kegiatan Usaha Investasi atau penanaman modal menjadi pilihan yang sangat diminati oleh para pencuci uang. Uang yang sudah berhasil dicuci kembali dijadikan modal dalm mendanai investai dalam berbagai bentuk, baik investasi langsung (direct investation) maupun investasi tidak langsung (indirect investation).

2)   Penjualan dan Pembelian Aset Biasanya para pencuci uang dalam menjalankan TPPU seringkali diawai dengan penempatan dana pada lembaga keuangan atau sebagai aset sebuah perusahaan boneka. Perusahaan boneka tersebutkemudian dibuat seolah-olah melakukan transaksi pembelian aset properti seperti gedung, dengan harga yang dinaikkan (marked up). Hasil penjualan aset tersebut kemudian dianggap sebagai pendapatan dari transaksi yang sah.

 

 

Daftar Pustaka

 

Basel AML INDEX 2014. 2014. International Center for Asset recovery (ICAR). Iwan Kurniawan. 2013. Perkembangan Tindak Pidana Pencucian Uang (Money Laundering) dan Dampaknya Terhadap Sektor Ekonomi dan Bisnis,Jurnal Ilmu Hukum, Vol. 3 No. 1.

 

 International Standards On Combating Money Laundering And The Financing of Terrorism & Proliferation the FATF Recommendations, February 2013.

 

Kamus Besar Bahasa Indonesia : Edisi Ketiga. 2005. Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional. Jakarta : Balai Pustaka.

 

Laporan Tahunan 2013. 2013. Pusat Pelaporan Analisis dan Transaksi Keuangan.

 

Mohamad Irvan Olii. 2005. Sempitnya Dunia, Luasnya Kejahatan? sebuah Telaah Ringkas tentang Transnational Crime. Jurnal Kriminologi Indonesia. Vol. 4. Nomor 1. Universitas Indonesia.

 

Muladi dan Dwidja Priyatno 2012. Pertanggungjawaban Pidana Korporasi. Jakarta : Kencana.

 

Modul E-Learning 1 : Pengenalan Anti Pencucian Uang dan Pendanaan Terorisme, Bagian Kedua : Tipologi Pencucian Uang, Pusat Pelaporan Analisis dan Transaksi Keuangan (PPATK).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Privacy Policy

 <h1>Privacy Policy for Ujung Pena Secuil Tinta</h1> <p>At Ujung Pena Secuil Tinta, accessible from https://wigisutrisno.b...