Sabtu, 08 Maret 2014

Pengertian Komunikasi: Bahasa Pada Orang Kemayu


A.    Pengertian Komuikasi
Secara paradigmatis, komunikasi adalah proses penyampaian suatu pesan oleh seseorang kepada orang lain untuk memberi tahu atau untuk mengubah sikap, pandapat, atau perilaku, baik langsung secara lisan, maupun tak langsung melalui media (Effendy, 2004:4).  Sedangkan Menurut Harold D. Lasswel Menurut Harold D. Lasswel, bahwa cara terbaik untuk menjelaskan kegiatan komunikasi ialah menjawab pertanyaan “who says what in which channel to whom with what effect?.
Paradigma Laswell di atas menunjukkan bahwa komunikasi meliputi lima unsur sebagai jawaban dari pertanyaan yang diajukan itu, yakni :
Komunikator (communicator, source, sender), Pesan (message), Media (channel, media), Komunikan (communicant, communicatee, receiver, recipient), Efek (effect, impact, influence). Jadi berdasarkan paradigma Laswell tersebut, komunikasi adalah proses penyampaian pesan oleh komunikator kepada komunikan melalui media yang menimbulkan efek tertentu Effendy (2004: 10). Adapun fungsi dari komunikasi, adalah sebagai berikut
a. Menyampaikan informasi (to inform)
b. Mendidik (to educate)
c. Menghibur (to entertain)
d.Mempengaruhi (to influence)
Adapun tujuan dari komunikasi, adalah sebagai berikut:
a. Perubahan sikap (attitude change)
b. Perubahan pendapat (opinion change)
c. Perubahan perilaku (behavior change)
d. Perubahan sosial (social change) (Effendy, 2004: 8)

B.     Bahasa Kemayu
Bahasa kemayu dalam komunitas asalnya dikenal sebagai bahasa binaan kemudian menjadi apa yang dinamakan bahasa gaul dan digunakan oleh mereka yang bukan waria dan bukan (atau belum diketahui) gay. Sejauh yang kita ketahui, di kepulauan Nusantara ini tercatat adanya enam jenis proses pembentukan kata-kata bahasa binan (Oetomo:2003:63). Kata-kata bahasa binan dibentuk dengan dua proses, yakni Proses perubahan bunyi dalam kata yang berasal dari bahasa daerah atau bahasa Indonesia. Proses penciptaan kata atau istilah baru ataupun penggeseran makna kata atau istilah (plesetan) yang sudah ada dalam bahasa daerah atau bahasa Indonesia. Jenis yang pertama ditemui di Surabaya, Malang, Semarang, Solo, Yogyakarta dan kota-kota berbasis budaya Jawa lainnya, dan umumnya berupa perubahan bunyi terhadap kata-kata bahasa Jawa. Dari suatu kata dasar hanya suku kata pertamanya yang dipertahankan. Bilamana suku kata pertama berakhir dengan vokal, maka konsonan pertama kata beriktunya dipertahankan pula. Kemudian pada awal potongan itu ditambahkan awalan si
Contohnya : banci→ban→siban
Lanang ”laki-laki” (Jawa) → lan → silan
Wedok → wed → siwed
Homo → hom → sihom
Jenis yang kedua dan ketiga ditemui di semua kota di Indonesia pada kalangan yang terpengaruh bahasa Indonesia Jakarta. Prosesnya adalah mengubah suku kata terakhir sehingga berakhir dengan –ong (jenis kedua) atau –es (jenis ketiga), dan mengubah bunyi/huruf vokal suku kata sebelumnya dengan e- diucapkan (-e). Jenis kedua biasa dinamakan omong cong atau bahasa ong-ong, sedangkan jenis ketiga biasa dinamakan omong ces atau bahasa es-es.
Contohnya :     laki → lekong (lėkong) atau lekes (lėkes)
Homo → hemong (hėmong) atau (hėmes)
Banci → bencong (bencong) atau bences (bėnces)
Penggunaan jenis –ong atau pun -es tidak mengikuti suatu kaidah yang pasti. Terkesan orang menggunakannya secara manasuka atau sembarang.
Sekitar pertengahan tahun 1990-an muncul varian yang mengganti bentuk akhir –ong atau –es itu dengan –i, meskipun pembentukan ini tidak seproduktif varian kedua dan ketiga. Maksudnya , apabila dengan proses transformasi gaya –ong dan –es praktis kata manapun dapat dijadikan kata bahasa binan, dengan proses –i, ini hanya sejumlah kata tertentu saja yang dapat dijadikan sebagai kata bahasa binan. Contoh proses transformasi ini : alih-alih mengatakan kentong atau kenti (sebagai transformasi dari kata : zakar, penis), orang  mengatakan kenti atau bukannya lagi pentong (transformasi dari pantat) melainkan penti.
Jenis yang keempat tampaknya hanya dipakai di Jakarta dan Bandung, setidaknya pada awalnya namun didalam perkembangannya menyebar ke kota-kota lain. Prosesnya adalah penyisipan –in- sesudah konsonan awal suku kata-suku kata pada kata tertentu, sehingga kata menjadi dua kali lebih panjang. Kemudian kata yang panjang itu dipendekkan lagi.
Contohnya :     Bule → binuline → binul
Lesb i→ linesbini → lines
Gay → ginay
Jenis yang kelima mirip dengan jenis pertama, yaitu kata asal dipotong sehingga hanya tinggal suku kata pertama dan (kalau suku kata pertama berakhir dengan vokal) konsonan pertama suku kata berikutnya, kemudian ditambahkan akhiran –se’.
Contohnya :     Homo → hom → homse → cin → cinse
Perlu dicatat bahwa dibeberapa kalangan,  kata se’ sendiri dipakai dengan makna gay dan homoseks. Kadang-kadang jenis ini digabungkan dengan kata-kata yang sudah diubah melalui proses –ong atau –es, seperti : Dorong, semburit, sanggama dubur → dorong/deres → derse.
Akhirnya, masih ada lagi jenis yang keenam, yang konon berawal di Medan dan kemudian menyebar disemua kota-kota Indonesia. Jenis ini berupa pemertahanan suku kata atau bagian suku kata awal kata dasar, sementara selebihnya diubah sehingga seakan-akan kata lain.
Contohnya :     sundal → sund → sundari
Enak → en → endang
sekal→s-→sulastri
sudah → su → sutra
tidak→ti → tinta
emang → em → ember, embrong
sakit, gay, homoseks→sak→sakinah
Jenis inilah sangat populer. Berkembang pesat dan meluas di seantero nusantara, dan kemudian dipakai sebagai bahasa gaul. Setiap komunitas waria atau gay senantiasa menciptakan sendiri kata-kata jenis ini, dan dari kunjung-mengunjungi maupun komunikasi melalui berbagai medium tersebar ke komunitas lain.
Selain itu masih ada kata-kata yang tidak dipakai sama sekali dalam bahasa masyarakat umum seperti cucok, cakep, rumpik sialan, penipu, bala-bala atau kata-kata yang maknanya lain dari yang dipakai umum,, seperti racun, perempuan, istri, jeruk, pemeras, kucing, pelacur laki-laki, ngebom, meledek, serta seruan-seruan panggilan seperti nek (tak diketahui asalnya, mungkinkah dari nenek?) Kecuali kata-kata khas yang dipakai didalam berbahasa daerah (semisal proses si- dalam berbahasa Jawa) jenis-jenis yang lima lagi dapat dan memang senantiasa dipakai berganti-ganti secara mana suka atau sembarang. Selain itu juga suatu hasil transformasi dari proses yang satu dapat mengalami transformasi lagi melalui proses yang lain, seperti yang kita lihat pada kasus kata dorong → derong, deres → derse. Yang lain umpamanya :
Pura (bentuk dasar pura-pura) → peres→ per→ persi
Tidak → ti → tint→ tin-→  tintring
Lumayan →  luma → lumajang → lumejong
silit dubur(Jawa) → sil→ sisil → sisilia
silit → sil → sisil → susil → susilo → susilo sudarman
Ciri pembeda bahasa binan di atas peringkat tata bunyi dan kosa kata adalah intonasi agak centil (atau sangat centil, bergantung pada penuturnya) dalam berbicara, serta juga pada sebagian penuturnya, kebiasaan latah yang sesungguhnya atau yang dibuat-buat.
Satu lagi ciri pembeda wacana pada bahasa binan adalah materi pembicaraan yang lebih lugas, bebas atau bahkan vulgar seperti penyebutan bagian-bagian dan cairan tubuh yang dilibatkan dalam hubungan seks (kenti: zakar, susil atau pentil: dubur, pantat, pejong: mani, dan sebagainya). Serta perbuatan-perbuatan seksual (meong : main, berhubungan seks)
Penggunaan bahasa binan di kalangan waria dan gay merupakan salah satu ciri pembeda yang menunjukkan apakah seseorang itu kerap bergaul dalam komunitasnya ataukah hanya hidup terselubung (yang dilakukan cukup banyak gay kalengan/tertutup karena takut akan stigma dari keluarga dan masyarakat) (Oetomo:2003 :67).

Privacy Policy

 <h1>Privacy Policy for Ujung Pena Secuil Tinta</h1> <p>At Ujung Pena Secuil Tinta, accessible from https://wigisutrisno.b...