Sabtu, 08 Maret 2014

Stilistika Puisi

 Puisi dan Ciri Teks Puisi
Puisi merupakan karya sastra yang paling penting. Puisi secara umum ditulis dengan menekankan kepada larik-larik sehingga jarang ditulis sampai pada baris pinggir kanan kertas.
            Ada tiga aspek penting yang mencirikan hakikat puisi antara lain intuisi, imajinasi, dan sintetik.
1. Intuisi
Intuisi merupakan suatu daya, suatu tenaga dalam yang tanpa bantuan pengalaman atau dibantu oleh proses logika mampu terlihat, memahami, dan menunjukkan kebenaran. Dengan intuisi sesuatu dapat dilihat dan dinyatakan secara tepat seolah-olah dengan menggunakan indra keenam, perasaan dan kata hati.
Untuk jelasnya, perhatikan puisi Toto Sudarto Bachtiar di bawah ini.
Pahlawan Tak Dikenal
            Sepuluh tahun yang lalu dia terbaring
            Tetapi bukan tidur, sayang
            Sebuah lubang peluru bundar di dadanya
            Senyum bekunya mau berkata, kita sedang perang
            Dia tidak ingat bilamana dia datang
Kedua lengannya memeluk senapan
Dia tidak tahu untuk siapa dia datang
Kemudian dia terbaring, tetapi bukan tidur sayang
Wajah sunyi setengah tengadah
Menangkap sepi pandang senja
Dunia tambah beku di tengah derap dan suara menderu
Dia masih sangat muda
Hari itu 10 November, hujan pun mulai turun
Orang orang pun ingin kembali memandangnya
Sambil merangkai karangan bunga
Tetapi yang nampak, wajah-wajah sendiri yang tak dikenalnya
Sepuluh tahun yang lalu dia terbaring
Tetapi bukan tidur saying
Sebuah lubang peluru bundar di dadanya
Senyum bekunya mau berkata: aku sangat muda

Dengan kekuatan intuisi, penyair menyampaikana sesuatu yang menyentuh, sesuatu yang menyentuh perasaan bukan pikiran. Karena intuisi ini pula menyebabkan karya puisi lebih bersifat ekspresif. Sebuah puisi diciptakan melalui suatu proses pematangan dan pengendapan di dalam kalbu yang kemudian dengan intuisi yang tajam mengekspresikannya dalam bentuk yang amat sederhana namun mengemban makna yang luas.
2. Imajinasi
Imajinasi dalam puisi merupakan bentuk kreativitas berpikir yang mampu memperkuat kesan suatu pengalaman jiwa. Di dalam puisi pengalaman jiwa tersebut diwujudkan ke dalam kata-kata. Makin lengkap dan dekat perwujudan angan-angan itu semakin tinggi mutu karya tersebut.
3. Sintetik
Sintetik diartikan sebagai suatu kesatuaan, suatu gabungan, suatu pemadatan. Akibat dari sifat puisi yang sintetik pernyataan puisi menjadi unik, dalam arti tidak langsung mengacu kepada sesuatu yang diungkapkannya, tetapi dapat menghasilkan pengertian luas dan bermacam-macam. Perhatika cuplikan puisi Chairil Anwar berikut.
Manisku jauh di pulau
Kalau kumati, dia mati iseng sendiri

            Perkataan “pulau” di sini tidaklah berarti sekeping tanah besar yang dikelilingi air menurut pengertian sehari-hari atau menurut geografi. Kekasih yang dibicarakan di sini tidak diartikan betul-betul berada di sebuah pulau, tetapi kekasih tersebut bisa berada di mana saja, yang jelas ia berada di tempat yang jauh, terpencil, kesepian, dan tidak dapat diajak bicara. Bahkan kata “manisku” belum tentu pula diartikan sebagai kekasih, tetapi mungkin suatu cita-cita, atau kedamaian yang didambakan, atau apa saja. Dengan demikian, sifat sintetik puisi menyebabkan puisi menjadi sesuatu yang ringkas tetapi menyarankan makna yang luas tanpa batas.
B. Gaya dari Segi Tipografi
            Dewasa ini terjadi perkembangan perkembangan yang luar biasa  dalam dunia perpuisian di Indonesia terutama dari segikeragaman bentuk lahir atau disebut juga tipografi. Keanekaragaman tipografi secara garis besar terdiri dari bentuk, sebagai berikut.
1. Tipografi dari sistem kalimat dalam larik dan bait
            Tipografi dalam sistem kalimat yang tersusun dalam larik, kemudian larik tersusun dalam bait, bait tersusun dalam struktur keseluruhan puisi,  merupakan hal- hal yang sudah lama ada. Pantun, syair, gurindam, sloka,  soneta, merupakan bentuk puisi yang dapat digolongkan dalam jenis ini. Selain itu sistem kalimat dalam bentuk larik yang kemudian membangun bait, bait membangun wacana untuk digunakan dalam puisi modern lainnya. Untuk yang terakhir ini perhatikan contoh berikut.
Fajar
Ada duka naik seperti pasang
            Hati di dalamnya tak kunjung tenggelam
            Sebelum batas sepi penghabisan dibenam
Hati diulur sampai keujung
Pada garis paling luar
Berbaris sinar
Angin memetik lagu indah
Hati tak kunjung fajar
Jauh didasar jiwa ada udara tipis
Penuh lagu tak terlarai kata manis
Benua selalu terbalut gerimis
Samar, merayu, makin lama makin tipis
                        (Sitor Situmorang, Wajah tak Bernama, 1982: 16)

            Tipografi dalam sistem kalimat dalam bentuk larik dan bait merupakan jenis tipografi yang paling dominan sampai saat ini. variasi bisa terjadi dalam panjang pendek kalimat, dalam jumlah larik dalam satu bait, atau jumlah bait dalam kesatuan puisi. Bisa terjadi puisi yang hanya baitnya satu atau hanya terdiri dari satu baris dalam satu bait, seperti puisi puisi Sitor “Bulan di tas kuburan”.
2. Tipografi Sistem Kalimat dalam Wujud Prosais
            Tipografi yang muncul pula di dalam dunia puisi modern adalah tipografi yang mirip karya prosa. Kalimat-kalimat yang dirangkai dalam susunan beruntun yang berbentuk paragraf. Gunawan Muhammad dan Sapardi Djoko Damono banyak melansirkan puisi gaya ini, yang biasanya disebut puisi prosais. Perhatikan contoh berikut.
NGIAU
            Suatu gang panjang menuju lumpur dan terang tubuhku mengapa panjang. Seekor kucing menjinjit tikus yang menggelepar tengkunknya. Seorang perempuan dan laiki-laki bergigitan. Yang mana kucing yang mana tikusnya? Ngiau! Ah gang yang panjang. Cobalah tentukan! Aku kenal Afrika aku kenal Eropa aku tahu benua aku kenal jam aku tahu jentara aku kenal terbang. Tapi bila manusia saling gigitan menanamkan gigi-gigi sepi mereka aku ragu menetapkan yang mana suka yang mana duka yang mana hampa yang mana makna yang mana orang yang mana kera yang mana dosa yang mana sorga.
            (Sutardji Coulzoum Bachri, O Amuk Kapak, 1981: 87)
            Puisi Sutadji tersebut walau kalimatnya berupa rentenan anak kalimat, namun pola yang digunakan berbentuk susunana kalimat yang tersusun dalam pola prosa.
3. Tipografi Sistem frase dalam Larik dan Bait
            Tipografi jenis ini terdiri dari rangkaian susunan frase sebagai unsur larik dan larik-larik tersebut membangun bait, dan bait kemudian membangun struktur keseluruhan puisi. Tipografi semacam ini dapat dilihat dari contoh berikut.
PURNAMA RAYA
Purnama raya
Bulan bercahaya
Amat cuaca
Ke Mayapada
Purnama raya
Pungguk merayu
Indah berseloka
Ayahanda beradu
Purnama raya
Gempaka berdendang
Tuan bekata
Naiklah abang
……………..
                        (Amir Hamzah, Buah Rindu, 1985: 9)
Walaupun diselapi oleh klausa namun, frase lebih dominan membentuk larik, dan larik membangun bait-bait.
4. Tipografi Sistem frase dalam Bait Simetris
            Puisi dalam sistem frase ada yang disusun sedemikian rupa sehingga menghasilkan tipografi yang tertata secara simetris. Perhatikan contoh berikut.
Tuhanku
Aku berguru kepadamu
Gelap dan terang
Saling menegaskan
Garis batasnya
Memusnahkan jaraknya
Pada pertentangannya
Memancarkan kesatruannya
Tuhanku
Hujan turun
Setetes demi setetes
Tanah kering ladangku hamil
Benih mengeliat
Lahir anak kita
Berpohonan cahaya
Tuhanku
Aku berguru kepadamu
Batu angin karipku
Umat adalah rahasia lontarmu
Tuhanku
Cintamu menyapa
Ketika sadar mata bahwa ia buta
…….
                                    ( Emha Nadjib, 99 Untuk Tuhanku, 1983:25)

5. Tipografi sistem Prosa dalam Wujud Prosais
            Terdapat tipografi puisi yang berakar pada system kata, yakni kata-kata dirangkai secara beururutan yang tak terputus-putus bagaikan tersusun dalam wujud karangan prosa. Perhatikan puisi berikut.
AMUK
Ngiau!
Kucing dalam darah dia menderas
Lewat dia mengalir ngilu ngiau dia ber-
Gegas lewat dalam aortaku dalam rimba
Darahku dia besar dia bukan harimau bu-
kan singa bukan hyena bukan leopardia
macam kucing bukan mucing tapi kucing
ngiau dilapar dia menambah rimba apri-
kaku dengan cakarnya dengan amuknya dia
meraung dia mengerang jangan beri da
ging dia tak mau daging jesus
jangan beri roti dia tidak mau roti ngiau
……..
Kucing meronta dalam darahku meraung
Merambah barah darahku dia lapar O
Alangkah lapar ngiau berapa juta Hari
Ia tak makan berapa ribu waktu dia tak
Kenyang berpa juta lapar-laparku-
Cingku berapa abad mencari mencakar menunggu
                     (Sutardji Colzoum Bachri, O Amuk Kapak,                           1981: 56-57)
6. Tipogarfi Sistem Kata dalam Susunan Simetris
            Ada puisi yang terdiri dari rangkaian kata-kata yang disusun sedemikian rupa sehingga memperlihatkan suatu suasana yang indah dan simetris kiri kanan serta berkembang secara vertikal ke bawah. Perhatikan contoh berikut.
Tuhanku
Sembahyang
Bibirku
Sembahyang
Wajahku
Sembahyang
Telapakku
Sembahyang
Kulitku
Sembahyang
Dagingku
Sembahyang
Tulangku
sembahyang
Uratku
sembahyang
Ubun-ubuku
Sembahyang
Darahku
Sembahyang
Nafasku
Sembahyang
Ma’rifatku
Sembahyang
Fikirku
Sembahyang
Rasaku
Sembahyang
Hati jiwaku
Sembahyang
Sukmaku
Sembahyang
Heningku
Sembahyang
Tuhanku
            (Emha Ainun Nadjib, 99 Untuk Tuhanku, 1983: 5-6)

7) Tipografi system kata yang tersusun dalam susunan lekuk
            Puisi yang bertumpu pada system kata ada yang tersusun dalam pola susunan lekuk (identasi) yang berselang-seling serta berkembang secara vertical ke bawah. Perhatikan contoh berikut.
apakah manusia
            hasrat
                        paha
                                    kontol
                                                puki
                                                            perut
                                                                        badan
                                                                                    hati
                                                                                                kepala
                                                                                                            langit
                                                                                                duri
                                                                                    bumi
                                                                        was
                                                            was
                                                was
                                    was
                        janji
            entah!

                        (Sutardji Calzoum Bachri, O Amuk Kapak, 1981:76)
           
8) Tipogrfi sistem kata yang tersusun secara acak
            Ada bentuk lahir puisi yang berpijak pada system kata, namun kata-kata yang digunakan disusun secara acak atau tidak terpola; kata-kata yang digunakan disebar secara horizontal dan vertikal. Perhatikan contoh puisi berikut.
       musang
                                                                                    apa ayamku
                        rimau
                                    apa rusaku
            elang
  apa ikanku                
     murai
                                                            apa cacingku
  kalian
    apa tuhankau?
                                    hei beri aku sejemput
                                    siapa tahu bias puas sekejap kucingku

                                                            (Sutardji Calzoum Bachri, O Amuk Kapak, 1981:75)

9) Tipografi sistem bunyi dan kata yang absurd
            Dewasa ini terdapat pula kecendrungan untuk lahirnya puisi yang berajkar kepada system bunyi dan kata dengan susunan yang absurd tidak dapat dirumuskan polanya. Perhatikan con toh berikut.

P O T
                                    Pot apa pot itu pot kaukah pot aku
                                                            Pot pot pot
                        Yang dijawab pot pot pot       pot kaukah pot itu
                        Yang dijawab pot pot pot       pot kaukah pot itu
                                                            Pot pot pot
                                    Potapa potiu potkaukah potaku?
                                                            P O T
                                               
                                                (Sutardji, Ibid : 30)
10. Tipografi Gabungan
            Terdapat banyak puisi yang merupakan gabungan dari tipografi yang telah disebutkan di atas. Seperti gabungan system kalimat, frase, kata, bunyi yang disusun secara lurus dan lekuk. Perhatikan puisi Hamid Jabar berikut ini.
SEBELUM MAUT ITU DATANG,
Ya Allah
Subuh rel kereta dingin itu
Mesjid nan lengang
Diam mendekam jalan itu
Aman nan pingsan
Dan selimut waktu mencekik leherku
Tiang nan gantungan
Dalam gelap
            Lelap ini
Tiada lagi
            Adzan
Kembang rekah mengelopak
Lalu lalang kacau nan panjang
Senyap
            Le
                    nyap
                               sa
                                         at
                                                i
                                                    tu
maut datang menerbangkan
gaibku
masuk kelubung pelukan
Ghaib-Mu
Ya Allah
Ya Allah Ya Akbar
            Ya Allah Ya Akbar
Ya Allah Ya Akbar
            Ya Allah Ya Akbar
Ya Allah Ya Akbar
                        Ya Allah Ya Akbar
            Sebelum maut itu datang, ya Allah
            Punahkan badai raguku
            …………..
            (Hamid Djabar, Wajah Kita, 1981:13-13)

            Tipografi gabungan semacam ini tentu banyak sekali variasinya. Setiap penyair ingin memperlihatkan gaya sendiri ditinjau dari tipografi. Terjadinya berbagai ragam tipografi tidak terlepas dari kecendrungan untuk melepaskan diri dari bentuk puisi yang telah ada. Di samping, terjadinya berbagai jenis tipografi puisi disebabkan pengaruhnya seni lukis ke dalam dunia puisi sehingga puisi tidak saja bersifat ekspresif dari segi gagasan, tetapi juga dari segi visualnya: keindahan bentuk lain mendapat perhatian.
            Terjadinya perubahan-perubahan dalam tipografi atau bentuk formal puisi sebenarnya bermula dari adanya aliran ekspresionisme dalam sastra. Tipografi yang kelihatan bebas tidak terikat kepada bentuk dengan pola-pola tertentu karena puisi itu disusun dengan kreativitas.

Peranan Bahasa Dalam Komunikasi


Stilistika,  juga retorika merupakan ilmu yang menggarap tentang sistem komunikasi, yaitu komunikasi antara penulis dan pembaca, pembicara dan pendengar. Secara umum bahasa didefinisikan sebagai lambang. Bahasa adalah alat komunikasi yang berupa sistem lambang bunyi yang dihasilkan alat ucap manusia. Sebagaimana kita ketahui, bahasa terdiri atas kata-kata atau kumpulan kata. Masing-masing mempunyai makna yaitu, hubungan abstrak antara kata sebagai lambang dengan objek atau konsep yang diwakili. Kumpulan kata atau kosa kata itu oleh ahli bahasa disusun secara alfabetis, atau menurut urutan abjad, disertai penjelasan artinya dan kemudian dibukukan menjadi sebuah kamus atau leksikon.

Fungsi utama bahasa adalah sebagai alat komunikasi, atau sarana untuk menyampaikan informasi. Selain itu bahasa pada dasarnya lebih dari sekedar alat untuk menyampaikan informasi, atau mengutarakan pikiran dan perasaan, atau gagasan karena bahasa juga berfungsi: 1) untuk tujuan praktis, mengadakan hubungan dalam dalam pergaulan sehari-hari, 2) untuk artistik, manusia mengolah dan menggunakan bahasa dengan seindah-indahnya guna pemuasan rasa estetis manusia, 3) sebagai kunci mempelajari pengetahuan-pengetahuan lain, diluar pengetahuan kebahasaan, 4) untuk mempelajari naskah-naskah tua guna menyelidiki latar belakang sejarah manusia, selama kebudayaan dan adat-istiadat serta perkembangan bahasa itu sendiri.

Bahasa sebagai alat komunikasi dan kontrol sosial tentu saja tidak semuanya dapat diterima sebagai seni sastra. Bahasa dalam kehidupan sehari-hari digunakan dalam banyak hal seperti penghormatan, perjanjian, pengharapan, memeritah, informasi, laporan, dan seterusnya. Bahasa meliputi segala macam komunikasi yang menyangkut penggunaan lambang bunyi bahasa, sedangkan sastra meliputi hanya satu daerah tertentu dari keseluruhan wilayah kekuasaan bahasa dan bukan keseluruhanya.  

1.      Peranan Bahasa dalam Komunikasi Sastra

Stilistika mempunyai pandangan tertentu tentang bahasa, yang tentunya berbeda dengan pandangan linguistik. Dari pandangan stilistika bahasa merupan sistem simbol berupa bunyi bahasa yang mempunyai daya simbolis yang tinggi. Karena itu, pemakai bahasa dapat melakukan penggeneralisasian, pengklasifikasian, dan pengabstraksian. Harus diakui bahwa sifat bahasa itu absrtak. Ia tidak secara langsung menunjuk atau mengacu sesuatu sehingga terbuka untuk dijadikan berbagai kemungkinan penafsiran.

Oleh sebab itu selalu diingatkan agar pemakai bahasa selalu berhati-hati agar apa yang dimaksudkan tidak jauh berberda dengan apa yang dipahami pendengar atau pembaca. Harus diakui pula bahwa bahasa sama dengan peta, betapapun hati-hati dalam pembuatanya, namun peta itu tidak akan pernah sama dengan daerah yang dipetakan. Bagaimanapun baiknya bahasa yang dipakai oleh penutur yang tidak pernah persis sama dengan yang dititurkan.

Dalam hubungan dengan pemakaian bahasa dalam komunikasi dianjurkan untuk memperhatikan hal-hal sebagai berikut.

a.      Memilih corak atau ragam bahasa secara sermat

Artinya, bahasa dalam kenyataan mengenal berbagai corak atau ragam. Masing-masing corak atau ragam dipakai dalam kondisi yang berbeda-beda. Bahasa yang dipakai dalam pergaulan berbeda dengan bahasa yang dipakai pada saat berkhotbah, dalam sastra berbeda pula dengan penulisan ilmiah atau surat resmi. Penutur harus teliti memilih corak bahasa yang akan digunakan. Pemilihan corak atau ragam bahasa itu dengan mempertimbangkan situasi, lawan tutur, sarana dan tujuan yang hendak dicapai.



b.      Memilih materi bahasa dan menatanya secara teliti

Artinya, materi bahasa seperti kata, ungkapan, istilah, dan kalimat kaya dengan pilihan. Pentingnya pemilihan adalah untuk menghindari kemenotonan. Selain itu materi bahasa itu harus ditata dengan teliti agar gramatikal dan dapat menampung gagasan dan akhirnya dapat diterima dengan mudah oleh pembaca atau pendengar.



c.       Memilih gaya bahasa yang sesuai

Artinya, dalam berkomunikasi ada gaya tertentu yang dipilih. Gaya itu penting. Karena gaya bagaikan peranan bumbu penyebab pada masakan. Gaya tentu saja saja tidak asal bergaya. Gaya yang dipilih bukan atas pertimbangan selera penulis atau pembica semata, namun yang lebih penting adalah dengan pertimbagan bahwa gaya itu disukai oleh pembaca atau pendengar. Selain itu pengertian gaya di sini bukan dalam pengertian sempit sepeti pemakaian majas, tetapi dalam pemakaian yang luas seperti variasi pengungkapan, penyusunan alur, serta penekanan di sana sini.

Bahasa dalam kesusasteraan, seperti juga dalam bidang lainnya, adalah media penghubung  antara sesama anggota masyarakat dalam kegitan sosial dan kebudayaan. Terapi gaya bahasa dalam kesusasteraan berbeda dengan bahasa yang digunakan dalam percakapan sehari-hari, seperi bahasa pidato politik, bahasa surat kabar, bahasa buku teks, dan lain-lain. Dasar penggunaan bahasa dalam sastra bukan bukan sekedar paham, tetapi yang lebih penting ialah keberdayaan pilihan kata itu mengusik dan meninggalkan kesan kepada sentivitas pembaca. Nilai konotasi yang lebih luas dari pengertian denotasi yang amat penting. Setiap kata yang dipilih boleh diasosiasikan kepada berbagai daerah pengertia. Oleh sebab itu dalam sastra tidak ada pengertian yang samabila ditinjau dari sudut kesan sensivitas, dari sudut bunyi, dan sudut lambing.

Kelebihan sastra sebagai karya kreatif terletak pada unsur-unsur bahasa serta interaksi antara unsure-unsur bahasa tersebut dengan dunia nyata yang berada di luar dirinya. Bahasa yang dipakai dalam kesusasteraan bukan saja berfungsi sebagai alat komunikasi, tetapi lebih dari itu ia member makna yang lebih luas terhadap komunikasi dan hubungan antar manusia. Bila mau dibedakan antara bahasa kewartawanan dengan bahasa kesusasteraan, maka perbedaan tersebut adalah bahasa kewartawanan lebih bersifat literal, sedangkan bahasa kesusteraan lebih bersifat simbolis dalam arti bahasa sastra bukan saja mengungkapkan yang tersurat, tetapi juga tersirat.

2.      Sifat Khas Komunikasi Sastra

Komunikasi saatra merupakan komunikasi tertinggi, sebab mekanisme unsure-unsur yang paling luas. Schmidt menjelasakan bahwa komunikasi sastra melibatkan proses total yang meliputi: 1) prodiksi teks, yaitu aktivitas pengarang dalam menghasilkan teks tertentu , 2) Teks itu itu sendiri dengan berbagai problematika, 3) Transmisi teks, yaitu melalui editor, penerbit, toko-toko buku, dan pembaca dan 4) penerima teks, yaitu melalui aktivitas pembaca (Ratna, 2003:136). Sifat khas komunikasi sastra dapat dilihat dari hubungan satrawan dengan pembacanya. Dalam artian ada saling keterkaitan antara sifat komunikasi dan pelaku komunikasi, yakni sastrawan, bahasa yang digunakan dan pembaca satra.

Pertama, hubungan sastrawan dengan pembaca sangat khas dari sifat komunikasinya. Hubungan kedua unsur ini adalah hubungan timbal balik. Padaal komunikasi, sastrawan berkomunikasi  dengan pembaca berangkat dari praanggapan yang sama. Sastrawan dan pembaca harus sadar bahwa mereka berkomunikasi melalui karya sastra. pembaca harus sadar bahwa karya satra yang mereka baca berisi antara kenyataan dan khayalan. Dalam karya sastra, praanggapan ini dinamakan konveksi sastra.

Kedua, kekhasan komunikasi sastra dapat dilihat pada diri pembaca itu sendiri. Pada saat membaca karya sastra, pembaca tidak dapat langsung berkomunikasi dengan sastrawan. Pembaca adalah pemilih, penenima, penafsiran, pemberi, dan penyusun makna karya sastra sehingga menghasilkan nilai-nilai tertentu (Aminuddin 1997:94). Dalam karya sastra serius, komunikasi pembaca kepada sastrawan dapat berupa usulan atau tulisan kritik, sedangkan pada sastra pop komunikasi antara sastrawan dengan pembaca nyaris tidak ada (Zoes, 1990: 54-55).

Ketiga, kekhasan komunikasi sastra dapat dilihat pada karya sastra itu sendiri. Setelah pembaca membaca karya sastra, sebenarnya akan muncul karya yang lain. Karya lain itu adalah karya yang ada di dalam alam pikiran pembaca sesuai dengan penafsiran dan sistem yang ada dalm pikirannya.

Keempat, sifat kahas komunikasi sastra itu dapat dilihat dari diri sastrawannya. Hubungan antara sastrawan dengan pembaca juga bisa berupa hubungan yang timbul akibat sikap dan pandangan sastrawan terhadap pembaca. Selain muncul dari sikap sehari-hari, sikap terhadap pembaca tampak pada karya sastra.

Pengertian Komunikasi: Bahasa Pada Orang Kemayu


A.    Pengertian Komuikasi
Secara paradigmatis, komunikasi adalah proses penyampaian suatu pesan oleh seseorang kepada orang lain untuk memberi tahu atau untuk mengubah sikap, pandapat, atau perilaku, baik langsung secara lisan, maupun tak langsung melalui media (Effendy, 2004:4).  Sedangkan Menurut Harold D. Lasswel Menurut Harold D. Lasswel, bahwa cara terbaik untuk menjelaskan kegiatan komunikasi ialah menjawab pertanyaan “who says what in which channel to whom with what effect?.
Paradigma Laswell di atas menunjukkan bahwa komunikasi meliputi lima unsur sebagai jawaban dari pertanyaan yang diajukan itu, yakni :
Komunikator (communicator, source, sender), Pesan (message), Media (channel, media), Komunikan (communicant, communicatee, receiver, recipient), Efek (effect, impact, influence). Jadi berdasarkan paradigma Laswell tersebut, komunikasi adalah proses penyampaian pesan oleh komunikator kepada komunikan melalui media yang menimbulkan efek tertentu Effendy (2004: 10). Adapun fungsi dari komunikasi, adalah sebagai berikut
a. Menyampaikan informasi (to inform)
b. Mendidik (to educate)
c. Menghibur (to entertain)
d.Mempengaruhi (to influence)
Adapun tujuan dari komunikasi, adalah sebagai berikut:
a. Perubahan sikap (attitude change)
b. Perubahan pendapat (opinion change)
c. Perubahan perilaku (behavior change)
d. Perubahan sosial (social change) (Effendy, 2004: 8)

B.     Bahasa Kemayu
Bahasa kemayu dalam komunitas asalnya dikenal sebagai bahasa binaan kemudian menjadi apa yang dinamakan bahasa gaul dan digunakan oleh mereka yang bukan waria dan bukan (atau belum diketahui) gay. Sejauh yang kita ketahui, di kepulauan Nusantara ini tercatat adanya enam jenis proses pembentukan kata-kata bahasa binan (Oetomo:2003:63). Kata-kata bahasa binan dibentuk dengan dua proses, yakni Proses perubahan bunyi dalam kata yang berasal dari bahasa daerah atau bahasa Indonesia. Proses penciptaan kata atau istilah baru ataupun penggeseran makna kata atau istilah (plesetan) yang sudah ada dalam bahasa daerah atau bahasa Indonesia. Jenis yang pertama ditemui di Surabaya, Malang, Semarang, Solo, Yogyakarta dan kota-kota berbasis budaya Jawa lainnya, dan umumnya berupa perubahan bunyi terhadap kata-kata bahasa Jawa. Dari suatu kata dasar hanya suku kata pertamanya yang dipertahankan. Bilamana suku kata pertama berakhir dengan vokal, maka konsonan pertama kata beriktunya dipertahankan pula. Kemudian pada awal potongan itu ditambahkan awalan si
Contohnya : banci→ban→siban
Lanang ”laki-laki” (Jawa) → lan → silan
Wedok → wed → siwed
Homo → hom → sihom
Jenis yang kedua dan ketiga ditemui di semua kota di Indonesia pada kalangan yang terpengaruh bahasa Indonesia Jakarta. Prosesnya adalah mengubah suku kata terakhir sehingga berakhir dengan –ong (jenis kedua) atau –es (jenis ketiga), dan mengubah bunyi/huruf vokal suku kata sebelumnya dengan e- diucapkan (-e). Jenis kedua biasa dinamakan omong cong atau bahasa ong-ong, sedangkan jenis ketiga biasa dinamakan omong ces atau bahasa es-es.
Contohnya :     laki → lekong (lÄ—kong) atau lekes (lÄ—kes)
Homo → hemong (hÄ—mong) atau (hÄ—mes)
Banci → bencong (bencong) atau bences (bÄ—nces)
Penggunaan jenis –ong atau pun -es tidak mengikuti suatu kaidah yang pasti. Terkesan orang menggunakannya secara manasuka atau sembarang.
Sekitar pertengahan tahun 1990-an muncul varian yang mengganti bentuk akhir –ong atau –es itu dengan –i, meskipun pembentukan ini tidak seproduktif varian kedua dan ketiga. Maksudnya , apabila dengan proses transformasi gaya –ong dan –es praktis kata manapun dapat dijadikan kata bahasa binan, dengan proses –i, ini hanya sejumlah kata tertentu saja yang dapat dijadikan sebagai kata bahasa binan. Contoh proses transformasi ini : alih-alih mengatakan kentong atau kenti (sebagai transformasi dari kata : zakar, penis), orang  mengatakan kenti atau bukannya lagi pentong (transformasi dari pantat) melainkan penti.
Jenis yang keempat tampaknya hanya dipakai di Jakarta dan Bandung, setidaknya pada awalnya namun didalam perkembangannya menyebar ke kota-kota lain. Prosesnya adalah penyisipan –in- sesudah konsonan awal suku kata-suku kata pada kata tertentu, sehingga kata menjadi dua kali lebih panjang. Kemudian kata yang panjang itu dipendekkan lagi.
Contohnya :     Bule → binuline → binul
Lesb i→ linesbini → lines
Gay → ginay
Jenis yang kelima mirip dengan jenis pertama, yaitu kata asal dipotong sehingga hanya tinggal suku kata pertama dan (kalau suku kata pertama berakhir dengan vokal) konsonan pertama suku kata berikutnya, kemudian ditambahkan akhiran –se’.
Contohnya :     Homo → hom → homse → cin → cinse
Perlu dicatat bahwa dibeberapa kalangan,  kata se’ sendiri dipakai dengan makna gay dan homoseks. Kadang-kadang jenis ini digabungkan dengan kata-kata yang sudah diubah melalui proses –ong atau –es, seperti : Dorong, semburit, sanggama dubur → dorong/deres → derse.
Akhirnya, masih ada lagi jenis yang keenam, yang konon berawal di Medan dan kemudian menyebar disemua kota-kota Indonesia. Jenis ini berupa pemertahanan suku kata atau bagian suku kata awal kata dasar, sementara selebihnya diubah sehingga seakan-akan kata lain.
Contohnya :     sundal → sund → sundari
Enak → en → endang
sekal→s-→sulastri
sudah → su → sutra
tidak→ti → tinta
emang → em → ember, embrong
sakit, gay, homoseks→sak→sakinah
Jenis inilah sangat populer. Berkembang pesat dan meluas di seantero nusantara, dan kemudian dipakai sebagai bahasa gaul. Setiap komunitas waria atau gay senantiasa menciptakan sendiri kata-kata jenis ini, dan dari kunjung-mengunjungi maupun komunikasi melalui berbagai medium tersebar ke komunitas lain.
Selain itu masih ada kata-kata yang tidak dipakai sama sekali dalam bahasa masyarakat umum seperti cucok, cakep, rumpik sialan, penipu, bala-bala atau kata-kata yang maknanya lain dari yang dipakai umum,, seperti racun, perempuan, istri, jeruk, pemeras, kucing, pelacur laki-laki, ngebom, meledek, serta seruan-seruan panggilan seperti nek (tak diketahui asalnya, mungkinkah dari nenek?) Kecuali kata-kata khas yang dipakai didalam berbahasa daerah (semisal proses si- dalam berbahasa Jawa) jenis-jenis yang lima lagi dapat dan memang senantiasa dipakai berganti-ganti secara mana suka atau sembarang. Selain itu juga suatu hasil transformasi dari proses yang satu dapat mengalami transformasi lagi melalui proses yang lain, seperti yang kita lihat pada kasus kata dorong → derong, deres → derse. Yang lain umpamanya :
Pura (bentuk dasar pura-pura) → peres→ per→ persi
Tidak → ti → tint→ tin-→  tintring
Lumayan →  luma → lumajang → lumejong
silit dubur(Jawa) → sil→ sisil → sisilia
silit → sil → sisil → susil → susilo → susilo sudarman
Ciri pembeda bahasa binan di atas peringkat tata bunyi dan kosa kata adalah intonasi agak centil (atau sangat centil, bergantung pada penuturnya) dalam berbicara, serta juga pada sebagian penuturnya, kebiasaan latah yang sesungguhnya atau yang dibuat-buat.
Satu lagi ciri pembeda wacana pada bahasa binan adalah materi pembicaraan yang lebih lugas, bebas atau bahkan vulgar seperti penyebutan bagian-bagian dan cairan tubuh yang dilibatkan dalam hubungan seks (kenti: zakar, susil atau pentil: dubur, pantat, pejong: mani, dan sebagainya). Serta perbuatan-perbuatan seksual (meong : main, berhubungan seks)
Penggunaan bahasa binan di kalangan waria dan gay merupakan salah satu ciri pembeda yang menunjukkan apakah seseorang itu kerap bergaul dalam komunitasnya ataukah hanya hidup terselubung (yang dilakukan cukup banyak gay kalengan/tertutup karena takut akan stigma dari keluarga dan masyarakat) (Oetomo:2003 :67).

Sabtu, 22 Februari 2014

Karakter Islami Pada Tokoh Dalam Novel Ketika Cinta Bertasbih Karya Habiburrahman El Shirazy Skripsi Wigi Sutrisno


BAB I
PEND
AHULUAN


1. Latar Belakang
Manusia selalu menjadi pembicaraan di dalam karya sastra. Hal itu dapat ditemukan pada sejumlah karya sastra yang beredar di masyarakat. Banyak karya sastra yang bercerita tentang kehidupan manusia. Salah satu bentuk karya sastra yang bercerita tentang kehidupan manusia adalah novel. Novel menceritakan pengalaman manusia yang paling menarik dengan bermacam-macam latar, karakter dan masalah yang dihadapi manusia dalam kehidupan. Peristiwa yang terjadi di dalam novel merupakan cerminan dari kehidupan nyata yang telah direkayasa. Pengarang berusaha memanipulasi kehidupan nyata ke dalam bentuk dunia yang baru, yang imajinasi sesuai keinginan pengarang.
Novel memiliki tokoh-tokoh rekaan. Kehadiran tokoh tersebut memang disengaja pengarang untuk menciptakan sebuah kehidupan yang imajinatif. Sebuah novel harus memiliki tokoh karena tokoh adalah hal yang sangat penting di dalam novel. Kehadiran tokoh berfungsi ibarat roda untuk menjalankan cerita. Tokoh yang diceritakan di dalam novel adalah tokoh imajinatif yang memiliki kesamaan bentuk dengan tokoh-tokoh di dunia nyata, baik secara fisik, watak, maupun sikapnya sehingga kehadiran tokoh-tokoh tersebut dianggap ada oleh pembaca.  Atmazaki (2005: 38) mengatakan bahwa tokoh dalam novel bergerak seperti manusia, tokoh dalam novel bisa manusia, bisa tumbuhan atau binatang, tetapi tokoh-tokoh tersebut tetap representasi manusia dalam kehidupan nyata.
Penokohan adalah unsur yang penting di dalam novel. Untuk Mengkaji penokohan, pembaca harus memahami perwatakan (karakter) tokoh. Perwatakan berhubungan dengan  sikap dan tingkah laku tokoh-tokoh di dalam cerita. Perubahan sikap dan tingkah laku tokoh tergantung dari bentuk perjuangan dan masalah yang dihadapi tokoh. Setiap peran yang dilakoni tokoh dapat menyebabkan perubahan watak pada tokoh. Ada tokoh yang pada mulanya berwatak baik tetapi ketika dia berganti peran tokoh tersebut berubah menjadi jahat. Semua perubahan watak yang dialami tokoh tergantung kepada pengarang sebagai pembuat cerita.
Salah satu novel yang memaparkan tentang kompleksitas perwatakan tokoh adalah novel Ketika Cinta Bertasbih karya Habiburrahman El Shirazy. Novel ini bercerita tentang perjuangan seorang pemuda bernama Azzam. Dia kuliah di Al Azhar, Kairo. Saat menempuh studinya, Azzam menghadapi kesulitan. Azzam tidak mendapat kiriman uang dari keluarganya di Indonesia karena di tahun kedua Azzam kuliah, ayahnya meninggal dunia sehingga tidak ada yang membiayai kuliahnya. Untuk melanjutkan studinya di Kairo, Azzam terpaksa menjadi penjual bakso dan pembuat tempe. Hasil penjulan bakso dan tempe dipergunakannya untuk keperluannya di Kairo dan untuk memenuhi kebutuhan keluarganya di Indonesia.
Novel Ketika Cinta Bertasbih sangat menarik sekali diperhatikan dari aspek karakter islami karena semua tokoh yang ada di dalam novel adalah tokoh-tokoh yang beragama Islam. Karakter islami yang tergambar dari tokoh-tokoh tersebut antara lain jujur suka membantu, dan bekerja keras. Karakter islami merupakan sifat baik yang melekat pada diri seseorang. Seseorang bertindak dan bertingkah laku berdasarkan ajaran Islam. Hal itu sangat menarik sekali untuk diteliti. Disamping itu novel Ketika Cinta Bertasbih banyak memaparkan persoalan cinta (pacaran). Realita yang terjadi di masa kini banyak pemeluk Islam yang berpacaran. Islam tidak membolehkan pacaran karena hal itu melanggar ajaran Islam. Hal inilah yang membuat peneliti tertarik untuk melakukan penelitian tentang karakter islami pada tokoh dalam novel Ketika Cinta Bertasbih karya Habiburrahman El shirazy.
Habiburrahman El Shirazy lahir tanggal 3 September di Semarang. Dia adalah lulusan Sarjana dari Univesitas Al Azhar di Kairo. Habiburrahman El Shirazy, pengarang yang dikenal sebagai novelis dengan karya-karya islami. Fakultas UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta memberikan penghargaan kepada Habiburrahman sebagai adab award 2008 dalam bidang novel islami. Penghargaan yang lain yaitu penghargaan Sastra Nusantara 2008 sebagai sastrawan kreatif yang mampu menggerakkan masyarakat membaca sastra oleh pusat bahasa dalam sidang majlis sastra Asia Tenggara. Karya-karya Habiburrahman identik sekali dengan nuansa islami. Novel karya Habiburrahman yang paling fenomenal yaitu Ayat-Ayat Cinta, kemudian menyusul kumpulan cerita pendek di Atas Sajadah Cinta (2004), Pudarnya Pesona Cleopatra (2004), Ketika Cinta Berbuah Surga (2005), Dalam Mihrab Cinta (2007), Ketika Cinta Bertasbih (2007), Ketika Cinta Bertasbih 2 (2007), Bumi Cinta (2010). Karyanya yang akan diterbitkan yaitu langit mekkah berwarna merah, bidadari bermata bening dan bulan madu di Yerussale. (testimoni Ketika Cinta Bertasbih, 2007)
Penelitian tentang karakter tokoh islami dalam novel Ketika Cinta Bertasbih karya Habiburrahman El Shirazy dapat diimplikasikan langsung terhadap dunia pendidikan khususnya pada pembelajaran apresiasi prosa di sekolah. Implikasi berupa penulisan RPP berkarakter islami. Sebagai bahan ajar, landasan penelitian ini merujuk kepada salah satu materi yang tercantum dalam kurikulum tingkat satuan pendidikan pada sekolah menengah atas (SMA) kelas XI semester 2 (SK) Standar Kompetensi 15, yaitu memahami buku biografi, novel dan hikayat. (KD) Kompetensi Dasar 15.2 Membandingkan unsur intrinsik dan ekstrinsik novel Indonesia/terjemahan dengan hikayat.

B. Fokus Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah, maka penelitian ini difokus karakter islami pada tokoh dalam novel Ketika Cinta Bertasbih karya Habiburrahman El Shirazy.

C. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah dan fokus masalah maka rumusan masalah dalam penelitian yaitu bagaimanakah karakter islami pada tokoh dalam novel Ketika Cinta Bertasbih karya Habiburrahman El Shirazy?

D. Tujuan Penelitian

Tujuan dilakukan penelitian yaitu untuk mendeskripsikan karakter islami pada tokoh dalam novel Ketika Cinta Bertasbih karya Habiburrahman El Shirazy.

E. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk: (1) siswa terutama dalam mempelajari apresiasi sastra di sekolah; (2) Guru bahasa dan sastra Indonesia khususnya yang mengajar di SMA bisa menggunakan hasil penelitian ini sebagai referensi mengajarkan mata pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia; (3) untuk pembaca, dapat menambah pengetahuan tentang karakter islami pada tokoh dalam novel Ketika Cinta Bertasbih Karya Habiburrahman; (4) Peneliti lain, sebagai penelitian yang relevan dalam melakukan penelitiannya tentang karakter tokoh. (5) penulis sendiri, untuk menambah wawasan akademik dan sarana pembekalan diri.

F. Definisi Operasional

Sebagai acuan, perlu dibuat definisi operasional tentang penggunaan istilah-istilah penelitian. Istilah-istilah yang tekait dalam penelitian tentang karakter islami pada tokoh dalam novel Ketika Cinta Bertasbih karya Habiburrahman El Shirazy yaitu sebagai berikut; Pertama, karakter merupakan gambaran diri, sifat atau sikap tokoh yang dipercaya memiliki kualitas moral yang mendukung pribadi tokoh. Kedua, tokoh adalah orang atau pelaku yang ditampilkan dalam sebuah cerita. Ketiga, penokohan adalah cara pengarang menggambarkan dan mengembangkan watak tokoh rekaan. Kempat, perwatakan merupakan perubahan sifat dan watak tokoh dalam cerita. Kelima, islami adalah unsur agama islam yang melekat pada sesuatu benda. Keenam, novel merupakan karya sastra yang imajinatif, yang menceritakan pengalaman manusia secara kompleks.

Privacy Policy

 <h1>Privacy Policy for Ujung Pena Secuil Tinta</h1> <p>At Ujung Pena Secuil Tinta, accessible from https://wigisutrisno.b...